Meng-update #1
tiw,
Sebenarnya sudah beberapa waktu belakangan terpikir kembali untuk menulis lagi. Tapi baru kali ini diberi sempat dan kemauan. Buat apa? Ya, paling tidak memperbarui blog ini dengan 'curhat', unek-unek, opini, review, atau apapun sekadar menandakan bahwa masih ada kehidupan di blog ini dan saya sebagai pemiliknya. Kebetulan ada banyak momen 'seru' yang terjadi di sekeliling saya baru-baru ini dan sangat potensial untuk dikritisi, diulas, atau sekadar dikomentari--berlagak intelektual, hahaha.
Mundur ke beberapa waktu silam, ada sejumlah peristiwa yang bikin urat kemanusiaan saya terhenyak; sedih, marah, bangga, takut, dan sebagainya. Nyatanya saya masih memiliki rasa, reaksi emosional, dan serenceng peduli pada kondisi sosial meski jarang teraktualisasikan lewat tindakan karena kerap dihimpit rutinitas--alasan!! Jadinya cuma omongan dan omongan!
Lets say, soal Michael Jackson, Bom JW Marriot dan Ritz Carlton, kematian Presiden Direktur Holcim Indonesia Tim Mackay akibat bom, batal datangnya tim Manchester United, sampai-sampai pidato "salah tempat" Presiden SBY--yang sejatinya turut beduka, jadi pamer gara-gara fotonya dipakai jadi target sasaran latihan tembak para teroris
Ok. Menyoal meninggalnya The King of Pop Michael Jackson, tepatnya 25 Juni 2009. Ini bisa dibilang tragedi internasional, banyak orang di seluruh penjuru bumi menangisi kepergian Michael the phenomenon Jackson. Jadi teringat lagi tragedi kematian Lady Di pas Agustus 1997. Menyaksikan lagi bagaimana orang-orang dari berbagai penjuru menangisi dan mengapresiasi kepergian kedua orang itu, upacara pemakaman yang mewah, dan misteri kematian yang menyelimuti.
Menyoal Michael Jackson, saya memang terlambat 'ngeh' untuk menghargai perjuangan dan perjalanan hidupnya. Awalnya saya cuma menyaksikan Michael seadanya, penyanyi kulit hitam dengan tarian khas yang kian hari kian putih. Lagu-lagu dan klip videonya memang ada beberapa yang saya suka, dan itupun bisa dibilang semua orang tau.
Mungkin terbawa suasana dan cerita teman-teman kantor yang lebih dulu kagum dan menggilai The King, saya jadi mulai memperhatikan detil perjalanan kakak dari Marlon dan Janet Jackson. Dari situlah mulai terbersit kagum atas perjuangan hidupnya. Di balik keglamoran hidup, belasan kali bedah plastik yang membikin dia semakin putih, kelamnya masa kanak-kanaknya, dan segala rumor hitam Michael sepanjang hidupnya, muncul rasa penghargaan saya atas semangat, kerja keras, kepedulian sosial dan lingkungan, sampai totalitasnya dalam menyuguhkan hiburan ala mega bintang.
Dari penghargaan itu--meski tak sampai menggilai--ada penilain-penilaian saya mengenai Michael yang harus direvisi. Salah satunya adalah saya berpikir kembali mengenai pilihan Michael mengubah warna kulitnya. Awalnya saya berpikir adalah bentuk dari totalitas entertainment yang disuguhkannya. Kini saya berpikir kembali. Mungkin itulah bentuk 'pemberontakan' Michael atas tekanan rasial yang dialaminya. Michael mengubah warna kulitnya adalah pula 'paksaan' masyarakat. Andai ia tak berkulit putih, apatah ia akan sesukses dan sebegitu dikaguminya seperti sekarang.
Tak cuma cinta-cintaan, pentas dansa-dansi, dan lengkingan teriakan, bagi saya, Michael adalah manusia biasa atau bahkan anak-anak. Didasari kelamnya masa kanak-kanaknya, Michael ingin meraih kembali masa kanak-kanaknya yang seharusnya indah. Lihat bagaimana ia mengaktualisasikan mimpinya itu pada istana dan wahana Neverland Ranch dan donasi pada anak-anak di seluruh dunia. Tak cuma itu, pada kerusakan lingkungan, perang, dan segala bentuk penghancuran, dia tumpahkan kemarahannya; coba saja tengok "Earth Song" (1995), "They Don't Really Care About Us" (1996), atau "Heal The World" (1992)
Sebenarnya tak perlu juga membeberkan semua penghargaan saya pada Michael. Tentunya sudah terdengar basi dan semua orang sudah menyadarinya jauh sebelum saya sekarang ini. Tapi apatah boleh dikata, ini unek-unek yang membuat gatal kepala dan jari-jari di tuts keyboard. Tapi, baiklah saya akhiri, karena akan terkesan hambar dan diibaratkan menggarami laut.
Sebenarnya sudah beberapa waktu belakangan terpikir kembali untuk menulis lagi. Tapi baru kali ini diberi sempat dan kemauan. Buat apa? Ya, paling tidak memperbarui blog ini dengan 'curhat', unek-unek, opini, review, atau apapun sekadar menandakan bahwa masih ada kehidupan di blog ini dan saya sebagai pemiliknya. Kebetulan ada banyak momen 'seru' yang terjadi di sekeliling saya baru-baru ini dan sangat potensial untuk dikritisi, diulas, atau sekadar dikomentari--berlagak intelektual, hahaha.
Mundur ke beberapa waktu silam, ada sejumlah peristiwa yang bikin urat kemanusiaan saya terhenyak; sedih, marah, bangga, takut, dan sebagainya. Nyatanya saya masih memiliki rasa, reaksi emosional, dan serenceng peduli pada kondisi sosial meski jarang teraktualisasikan lewat tindakan karena kerap dihimpit rutinitas--alasan!! Jadinya cuma omongan dan omongan!
Lets say, soal Michael Jackson, Bom JW Marriot dan Ritz Carlton, kematian Presiden Direktur Holcim Indonesia Tim Mackay akibat bom, batal datangnya tim Manchester United, sampai-sampai pidato "salah tempat" Presiden SBY--yang sejatinya turut beduka, jadi pamer gara-gara fotonya dipakai jadi target sasaran latihan tembak para teroris
Ok. Menyoal meninggalnya The King of Pop Michael Jackson, tepatnya 25 Juni 2009. Ini bisa dibilang tragedi internasional, banyak orang di seluruh penjuru bumi menangisi kepergian Michael the phenomenon Jackson. Jadi teringat lagi tragedi kematian Lady Di pas Agustus 1997. Menyaksikan lagi bagaimana orang-orang dari berbagai penjuru menangisi dan mengapresiasi kepergian kedua orang itu, upacara pemakaman yang mewah, dan misteri kematian yang menyelimuti.
Menyoal Michael Jackson, saya memang terlambat 'ngeh' untuk menghargai perjuangan dan perjalanan hidupnya. Awalnya saya cuma menyaksikan Michael seadanya, penyanyi kulit hitam dengan tarian khas yang kian hari kian putih. Lagu-lagu dan klip videonya memang ada beberapa yang saya suka, dan itupun bisa dibilang semua orang tau.
Mungkin terbawa suasana dan cerita teman-teman kantor yang lebih dulu kagum dan menggilai The King, saya jadi mulai memperhatikan detil perjalanan kakak dari Marlon dan Janet Jackson. Dari situlah mulai terbersit kagum atas perjuangan hidupnya. Di balik keglamoran hidup, belasan kali bedah plastik yang membikin dia semakin putih, kelamnya masa kanak-kanaknya, dan segala rumor hitam Michael sepanjang hidupnya, muncul rasa penghargaan saya atas semangat, kerja keras, kepedulian sosial dan lingkungan, sampai totalitasnya dalam menyuguhkan hiburan ala mega bintang.
Dari penghargaan itu--meski tak sampai menggilai--ada penilain-penilaian saya mengenai Michael yang harus direvisi. Salah satunya adalah saya berpikir kembali mengenai pilihan Michael mengubah warna kulitnya. Awalnya saya berpikir adalah bentuk dari totalitas entertainment yang disuguhkannya. Kini saya berpikir kembali. Mungkin itulah bentuk 'pemberontakan' Michael atas tekanan rasial yang dialaminya. Michael mengubah warna kulitnya adalah pula 'paksaan' masyarakat. Andai ia tak berkulit putih, apatah ia akan sesukses dan sebegitu dikaguminya seperti sekarang.
Tak cuma cinta-cintaan, pentas dansa-dansi, dan lengkingan teriakan, bagi saya, Michael adalah manusia biasa atau bahkan anak-anak. Didasari kelamnya masa kanak-kanaknya, Michael ingin meraih kembali masa kanak-kanaknya yang seharusnya indah. Lihat bagaimana ia mengaktualisasikan mimpinya itu pada istana dan wahana Neverland Ranch dan donasi pada anak-anak di seluruh dunia. Tak cuma itu, pada kerusakan lingkungan, perang, dan segala bentuk penghancuran, dia tumpahkan kemarahannya; coba saja tengok "Earth Song" (1995), "They Don't Really Care About Us" (1996), atau "Heal The World" (1992)
Sebenarnya tak perlu juga membeberkan semua penghargaan saya pada Michael. Tentunya sudah terdengar basi dan semua orang sudah menyadarinya jauh sebelum saya sekarang ini. Tapi apatah boleh dikata, ini unek-unek yang membuat gatal kepala dan jari-jari di tuts keyboard. Tapi, baiklah saya akhiri, karena akan terkesan hambar dan diibaratkan menggarami laut.
Comments
*kabuuuur*