Museum Fatahillah: Nasibmu
Kira-kira awal Oktober 2012 silam, berkesempatan lagi mengunjungi kawasan Kota Tua, persisnya di seputaran Museum Fatahillah. Bukan lantaran ingin menyegarkan otak dengan beranjangsana menyaksikan koleksi beberapa museum yang ada di kawasan situ.
"Sebenarnya heran juga, kok, bisa-bisanya saya bilang menyaksikan koleksi museum bisa menyegarkan otak? Yang barangkali terjadi malah jenuh dan murka lantaran melihat koleksi museum-museum tersebut yang kian merana. Koleksi itu memang terjogrok di museum, sebuah bangunan yang seharusnya didedikasikan sebagai konservasi, pelestari, dan pusat informasi kesejarahan. Tapi, apakah benar dirawat? Rasa-rasanya perilaku dan tatakelola kebanyakan museum di sini baru sebatas mengumpulkan dan memajang".
Ya, kunjungan saya--bersama teman seorang fotografer--ke kawasan itu adalah menjumpai seorang narasumber, yang kebetulan pemerhati sejarah bersama komunitas bentukannya.
Sembari menunggu narasumber datang, inisiatif saya muncul, membawa kaki melangkah menapak dan melihat-lihat seputaran halaman depan Museum Fatahillah atau dikenal juga sebagai alun-alun.
Areal yang luarbiasa sibuk! Beda dengan suasana beberapa tahun silam terakhir kali saya mampir ke sini. Areal alun-alun--yang di kelilingi sejumlah bangunan lain, seperti Museum Keramik, Museum Wayang, Kantor Pos, juga Kafe Batavia--dipadati orang-orang yang lalu-lalang, berseliweran, sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kebetulan beberapa bagian dari areal alun-alun sedang di renovasi, seperti bagian depan Museum Fatahilah dan bangunan kubah air mancur yang persis ada di tengah alun-alun.
Ohya, tambah ramai sebab di Museum Keramik sedang ada persiapan acara musik--dari jauh terlihat pangung dengan set alat musik, ditambah lagi suara teknisi yang sibuk dengan uji-coba kualitas audi. Kalau membaca spanduk yang ada di sekitar areal Museum Keramik itu, sih, acaranya adalah "SOSIALISASI MUSEUM KERAMIK...." Lengkapnya isi spanduk itu saya tak baca, tapi herannya saya, acara sosialisasi museum kenapa dengan acara bikin panggung musik yang mungkin hanya akan terdengar di lokasi itu-itu saja. Bahh!!
Kesibukan lainnya adalah para pedagang yang sibuk menata barang dagangan di lapak masing-masing, mulai dari pernak-pernik cinderamata, asongan rokok dan minuman dingin aneka warna, warung makanan, juga sepeda.
Ya, sepeda. Hampir setengah areal alun-alun diisi oleh sepeda 'jengki' aneka warna yang ditata berderet untuk disewakan. Ada beberapa kubu pemilik sewa sepeda kuno itu, terlihat dari tag nama perkumpulan sepeda-sepeda itu yang menggantung di sepeda atau ditancapkan di batang pohon yang ada di situ. Dulu rasanya jumlahnya tak sebanyak ini, tapi kini luarbiasa banyaknya, ratusan bila tak salah hitung.
Tapi kalau lihat situasinya sekarang, kok, malah jadi area bermain.
Lumayan miris melihat semrawutnya kawasan itu. Belum lagi di sepanjang jalan persis di depan Museum Wayang ke arah Museum Bank Indonesia. Situasinya lebih bikin berdebar. Puluhan lapak berderet-deret menjajakan barang dagangan dan jasa. Gerobak tenda kedai makan beradu pesona dengan beberapa tukang tato, stiker, cinderamata dari kayu, sampai sewa mobil 'jadul' untuk property foto pre-wedding. Ini lebih mirip pasar. Mirisnya lagi, kabarnya kawasan ini makin sore makin ramai.
Dilema memang menyaksikan dinamika perubahan kawasan ini. Dulu, kita pusing memikirikan daya tarik apa yang membuat orang-orang mau bertandang ke sini, datang ke museum. Setalah daya tarik itu berlimpah kita pusing melihat kesemrawutan yang tercipta. Eh, tapi yang saya tak tahu pasti apakah dengan keramaian ini jumlah pengunjung museum-museum yang ada di sini juga meningkat? Jangan-jangan malah tidak ada perubahan. Takutnya yang terjadi bukan tren berkunjung ke museum, tapi tren bermain di depan museum. Bukan seperti ini harusnya. Harusnya 'pasar' itu cuma jadi menu pendamping museum.
"Beberapa pasang remaja, anak-anak dan oran tuanya, bahkan rombongan tur bule-bule malah sibuk berfoto di depan sepeda-sepeda, menjajal berkeliling, lantas menghilang di dalam kedai-kedai makan atau gerobak penjaja minuman."
Tapi, keramaian pasar itu tak bisa disalahkan juga. Nyatanya itu memang daya tarik utama untuk sebagian masyarakat. Mereka juga butuh hiburan, meski cuma bersepeda di halaman museum, dan bukan masuk ke dalam museum yang harga tiketnya jauh lebih murah dari harga sewa sepeda. Nah, apalagi saya, yang hari itu berkunjung ke sana cuma menjadikan Museum Fatahillah sebagai latar foto narasumber.
"Apa iya museum-museum itu sudah sedemikian membosankannya, ya?"
Comments