Ada pemandangan mengerikan saban saya melintas di depan gerbang satu-satunya kompleks lapangan golf yang ada di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Dua anak: satu laki-laki kira-kira usia belasan dan adiknya, bocah perempuan, yang barangkali menurut tebakan saya usianya belum genap lima tahun. Ada sakit hati yang seketika membuncah manakala menyaksikan dua anak itu duduk meringkuk di pinggir jalan. Bermodal jaket dengan penutup kepala, bocah perempuan sudah lelap di pangkuan sang kakak yang mencoba menahan kantuk sambil satu tangan menjaga posisi si adik dan satu tangan lagi menahan wajahnya yang kantuk. Di hadapan kedua anak itu teronggok setumpuk batu cobek, jualan mereka.
Meski sekilas, dengan melintas mengendara motor, saya cuma punya beberapa detik saja memandangi potret tersebut. Sial buat saya. Gambaran itu membekas dengan kuat di kepala. Beberapa saat kemudian, masih sambil berkendara, murka saya membuncah.
Dua anak: satu laki-laki kira-kira usia belasan dan adiknya, bocah perempuan, yang barangkali menurut tebakan saya usianya belum genap lima tahun. Ada sakit hati yang seketika membuncah manakala menyaksikan dua anak itu duduk meringkuk di pinggir jalan. Bermodal jaket dengan penutup kepala, bocah perempuan sudah lelap di pangkuan sang kakak yang mencoba menahan kantuk sambil satu tangan menjaga posisi si adik dan satu tangan lagi menahan wajahnya yang kantuk. Di hadapan kedua anak itu teronggok setumpuk batu cobek, jualan mereka.
Meski sekilas, dengan melintas mengendara motor, saya cuma punya beberapa detik saja memandangi potret tersebut. Sial buat saya. Gambaran itu membekas dengan kuat di kepala. Beberapa saat kemudian, masih sambil berkendara, murka saya membuncah.
Comments