Untuk Virginia

Virginia #12.07.2014
Hari ini hujan turun setengah hati, kadang rintik, kadang deras, di lain tempat malah tak sempat turun. Itu kabar yang saya terima dari beberapa twit yang singgah. Baru saja menjejak lantai halte, rinai rintik mulai menyapa.

Saya menyukai hujan. Baunya begitu khas. Hujan selalu menjadi bidan lahirnya ide-ide ciamik. Beda dengan terik. Beruntung tak ada guruh yang menyelingi seperti biasanya.

Saya bukan tak menyukai gelegar guruh kala hujan. Saya pikir hujan tak sempurna tanpa guruh, tak bernada. Bahkan denting khidmat demung, saron, peking, gender, dan bonang  dalam gamelan, tetap butuh hentak gaung gong. Saya hanya tak suka kilau kilat yang merentet turun dari langit sesaat sebelum guruh, pedih seperti mengores luka.

"Hari ini hujan yang manis," gumam di benak saya. Kalimat itupun menjelma tweet dan status di path yang disempurnakan dengan jepretan saya meng-candid seorang laki-laki sepuh bergumul asap tembakau yang duduk di ujung bangku halte tak jauh dari saya, yang sama-sama memilih menikmati hujan dengan berteduh di halte depan masjid ini.  

"Seperti ada niat yang ingin disampaikan dari langit," kata laki-laki sepuh itu yang mendadak berdiri dan melangkah persis ke tepi depan halte. Ia menengadah. Meski tak mengarahkan pandangannya, kalimat itu seperti disasar ke arah saya. Hmm, mungkin hanya kebetulan. Saya tak percaya ada pembaca pikiran. “Mungkin pujangga atau aktor panggung yang tua tergerus jaman dan tertekan,” balas saya dalam gumam. Tak tahu benar atau tidak, saya senyum, sekadar  mengapresiasi. Tanpa mengarahkan pandangan, tanpa ikut menengadah. Saya malah melepas pandangan ke tengah halte ini. Seorang perempuan terlihat gamang menimbang dua pelindung hp—merah dan biru. Ia merengek saran dari teman di sebelahnya. “Mungkin ia Cancer,” guman di benak saya lagi.

"Hari ini ibu saya yang cantik berulang tahun. Hujan ini mungkin kado berkah yang ingin disampaikan alam untuknya," gumam di benak saya tanpa maksud berpuisi, kali ini sambil menengadah mencoba menikmati suasana.

Bus pun tiba. Saya beringsut mendekati pintu bus. Mungkin lantaran penuh laki-laki sepuh itu memilih tak ikut naik. "Ingatkan ia bahagia atas kelahirannya. Dari langit, turun ke bumi, kembali ke langit. Menjadi hidup yang menghidupi. Menjelma ibu, di tangannya ada air susu juga kutuk, dan manusia-manusia terus lahir dari senyumnya. Menjelma berkat, tuhan dalam dimensi manusia. Seperti hujan yang perawan, kadang membikin hilang asa, tapi selalu ditunggu," ujarnya seperti menitip pesan.

Bus bergerak menjauhi halte. Laki-laki itu menghilang dari pandangan saya yang terhalang bias air di kaca belakang bus dan sapu wiper. Tangan saya kelu di halaman status path, mencoba merapal ucapan laki-laki sepuh tadi.

Meruyung, 21:28Wib, 12-07-2014

Comments