Kau dan Gelas


Sore ini di sebuah restoran di dalam mal tua yang masih sanggup memikat kunjungan, setidaknya aku dan kau.

Kita duduk berderet di kursi-kursi menjulang yang membujur di hadapan meja bar.
Aku dengar bartender itu menyapa dan menanyakan minuman kebiasaan kita

Aku tak mendengar jawabanmu, pandanganku kepalang berpaling ke gelas-gelas sepi yang membujur tergantung di atas kepala bartender ramah itu. Gelas-gelas yang berguncang dan menambah riuh kesibukan di meja bar.

Yang aku dengar suara beling dari botol dan gelas saling beradu dan membuat denting, disusul suara buncah curah dengan buih. Tak lama ada aroma yang apik menyusup ke rongga penciuman
Aku kenal aroma itu: strawberry punch dengan kombinasi tawa dan tangis yang berat sebelah dan membikin nyiyir, tapi kita suka. Aku tak menolak metafora itu untuk percintaan kita. Di kepalaku lamat-lamat tersaji serenceng teori soal menyayangi yang paripurna: mencintai sekaligus membenci.

Kau yang tadi gelisah karena gaun warna putih itu, tampak mulai tenang di sisiku. Tak perlu menoleh, aku memandangimu dari bias dan berkas cahaya yang memantul dan menerobos gelas-gelas yang tergantungkan di jeruji besi di atas kepala bartender ramah itu. Aku kenal betul gelas-gelas itu, seperti sebegitu pula aku mengakrabi tabiatmu yang tersipu di antara

Kau dan dia yang anggun
Kau dan dia yang bening
Kau dan dia yang rapuh
Kalian yang setiap waktu kugenggam, kureguk, dan kuharap bisa menyusuti dahagaku.

Di kepalaku bergema sebuah tanya: "Adakah begitu pula aku untuk kalian?"


Aku masih memandang gelas-gelas itu, kau mulai sigap tersenyum, dan bartender ramah yang malam itu tampak bahagia menuangkan tawaran jawaban dari pertanyaan yang tak perlu dilontarkan


Meruyung, 3 Juni 2017
-HS

Comments