JIFFest 2010: Dilema Apresiasi dan Dukungan

Bukan rentang waktu yang sebentar. Sebelas tahun sudah JIFFest (Jakarta International Film Festival) mengisi agenda apresiasi film masyarakat Jakarta dengan suguhan film-film berkualitas dan setiap tahunnya. Namun, tahun ini, terancam batal dilaksanakan hanya karena tak ada dana.

Tak cuma sajian film, dalam setiap gelarannya, JIFFest juga menggelar serangkaian kegiatan pendidikan, pelatihan, workshop, atau seminar dalam rangka pengembangan sumberdaya dan apresiasi manusia pendukung industri film Indonesia. Dimulai 1999, hingga tahun lalu, 2009, gelaran apresiasi film ini rutin digelar. Mendadak, jelang gelaran yang ke-12, tahun ini, Festival Film Internasional yang pertama di Indonesia terancam batal dan bubar disebabkan masalah pendanaan dan minimnya bantuan dana dari pemerintah.

Masalah klasik menghadang pelaksanaan JIFFest. Sampai saat ini pihak panitia penyelenggara masih belum yakin dengan jumlah dana yang dimiliki untuk mendukung terselenggaranya acara tersebut. Masalah krisis pendanaan ini dilontarkan oleh Shanty Harmyn selaku pendiri JIFFest. Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Oktober lalu, Shanty mengungkapkan bahwa pelaksanaan JIFFest selama ini selalu membutuhkan dana yang cukup besar, mencapai Rp2 miliar. Rencananya, bila November nanti hanya tersedia dana tidak lebih dari Rp1 miliar, maka festival ini terancam batal dan diundur hingga tahun berikutnya. Kabar lain menyebutkan, panitia gelaran JIFFest yang akan diselenggarakan pada 27 November-3 Desember 2010, baru berhasil mengumpulkan dana sebesar 25% dari dana keseluruhan. Shanty memaparkan, idealnya pendanaan acara sejenis adalah sekira Rp4-5 miliar. "Idealnya pendanaan 30 persen dari pemerintah pusat, 30 persen dari Pemda, sisanya swasta," urainya.

Sejujurnya, sejak penyelenggaraan kesebelas lalu, langkah JIFFest memang sudah terlihat terseok dengan terpusatnya penyelenggaraan hanya pada satu tempat, yakni empat layar di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Saat itu total penonton hanya mencapai 20 ribu orang. Melihat situasi ini, Lalu Roisamri, selaku Co-director JIFFest tak memasang target muluk untuk gelaran JIFFest tahun ini “Untuk target tahun ini maksimal hanya tiga layar, dengan 150 judul film dari 25 negara, dan pencapaian 15 ribu orang saja sudah bagus sekali,” ungkapnya dalam konferensi pers.

Situasi ini menjadi dilema besar bagi masyarakat penikmat film, pelaku industri film Indonesia, dan bahkan pemerintah bangsa ini. Haruskah JIFFest ditunda, dibatalkan, atau bahkan ditiadakan? Sejatinya, dipelopori Shanty Harmayn dan Natacha Devillers, Jiffest lahir sebagai jawaban sekaligus bukti bahwa Jakarta juga sanggup menggelar festival film berskala Internasional. Faktanya, sejumlah negara di kawasan Asia bahkan Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Filipina, sudah duluan menghadirkan festival film tingkat internasional. Singapore International Film Festival (SIFF) telah 12 tahun terselenggara. Korea sendiri telah menarik perhatian kalangan perfilman Asia dan dunia melalui Pusan International Film Festival. Nah, Thailand dan Filipina juga sudah meluncurkan festival film internasional: Bangkok International Film Festival (September 1998) dan Cinemanila (Juli 1999).

Nah, November 1999 jadi momentum kelahiran JIFFest. Saat itu, selama delapan hari (20-28 November 1999), JIFFest menghadirkan 65 judul film dari beragam negara, termasuk Indonesia. Pada tahun perdana kehadirannya tak kurang dari 18 ribu penonton menyaksikan film-film pilihan dari 25 negara. Sejak ditelurkan pada 1999, gelaran JIFFest berkembang dari kemasan kegiatan dan peminat. Jiffest menjadi ajang apresiasi film yang banyak diminati masyarakat dan menjadi salah satu agenda besar dalam kancah festival film dunia. Jumlah judul film yang diputar dan lokasi pemutaran film pun semakin banyak dari tahun ke tahun, bahkan JIFFest sekarang menjadi ajang pemutaran perdana sejumlah film layar lebar. Tema-tema yang beragam dan kritis. Tak cuma itu, sebagai festival film berskala internasional yang paling atraktif di Asia Tenggara, JiFFest mampu menarik minat beberapa organisasi film internasional untuk bekerja sama, seperti AFI (American Film Institute).

Tapi kini, jelang gelaran ke-12, pengadaan JIFFest terkendala pendanaan? Sungguh situasi yang tidak mengenakkan pun tidak menguntungkan. Dilihat sebagai gelaran, di samping telah rutin, JIFFest sudah kadung punya nama, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sangat disayangkan jika kegiatan yang memberikan peluang bagi masyarakat dalam mengapresiasi film ini harus batal hanya karena urusan dana. Pasalnya, harus diakui, ada banyak manfaat yang didapat dari adanya kegiatan ini. Masyarakat Jakarta sebagai penikmat film berkesempatan menyaksikan film-film berkualitas dari berbagai belahan dunia. Film-film yang berbeda, di luar kebanyakan yang diusung Hollywood-Bollywood-Hongkongwood. Tak sekadar menyaksikan, masyarakatpun teredukasi melalui film-film yang menampilkan tema-tema kritis, kemanusiaan, gender, sosial, dan lainnya. Bagi penggiat film nasional, JIFFest sekaligus ajang belajar sekaligus tolok ukur. Di sinilah, para sineas kita bisa membandingkan diri dan filmnya dengan penggiat film dari dunia lain. Lebih luas lagi, bagi Indonesia, JIFFest menjadi ajang yang turut menaikkan pamor bangsa ini di kancah film dunia.

Dengan pertimbangan-pertimbangan positif gelaran JIFFest barusan, apakah kita harus berdiam, membiarkan festival ini mati? Bagaimana sikap pemerintah kita seharusnya?

Nia Dinata sebagai salah satu penggiat film nasional turut menyayangkan situasi ini. Jujur saja, Nia bersama Kalyana Shira adalah salah satu penggiat film nasional yang kerap mengapresiasi dan memanfaatkan JIFFest sebagai media promosi film-film anyarnya. Apalagi, untuk gelaran JIFFest ini sebenarnya Nia sudah menyiapkan salah satu judul filmnya. Nia Dinata sendiri menyangkal adanya kesalahan dalam pengelolaan penyelenggara JIFFest setiap tahunnya. Harus diakui, gelaran ini memang besar dan berskala internasional.

Faktanya selama ini JIFFest terselenggara berkat adanya donasi dari pihak-pihak swasta dan asing. Kabar lain mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi JIFFest tahun ini adalah buntut krisis yang dihadapi sejumlah sponsor besar dari luar negeri. Hal senada diungkapkan pendiri Kalyana Shira ini. Nia mengungkapkan bahwa krisis ekonomi global sangat berpengaruh pada dukungan pihak-pihak asing tersebut. “Krisis global sedikit saja, mereka langsung cut donasinya,” ujar Nia.

Di sisi lain, Nia mengungkapkan adanya semacam kesepakatan (kontrak) dari para donatur terhadap donasi yang diberikan. “Seperti pengalaman saya mengembangkan Kids Fest Indonesia. Ada sponsor yang bersedia membiayai untuk jangka waktu tertentu, misalnya 5 tahun atau 10 tahun. Setelah itu, mereka cabut. Harapannya setelah jangka waktu tersebut, kegiatan tersebut bisa berjalan sendiri,” ungkapnya. Menurut Nia, situasi itulah yang mungkin dihadapi JIFFest saat ini. Menurut Nia, situasi pelik yang dihadapi panitia JIFFest menjadi bukti tidak adanya support pemerintah terhadap upaya pembelajaran dan apresiasi film masyarakat Indonesia.

Figur sutradara dan produser film-film “tought provoking” ini mengulang kembali pengalamannya bersama rekan-rekan penggiat film ramai-ramai mengembalikan Piala Citra (Festival Film Indonesia 2007) dan gugatan menyoal Undang-undang Pornografi yang menurutnya terlalu rawan untuk 'dimanfaatkan' oleh oknum. “Pemerintah terlalu licik. Mereka lebih senang mendiamkan, sampai akhirnya terjadi. Barulah mereka bertindak,” ungkapnya geram. Lebih jauh menyoal peran pemerintah dalam pengembangan film Indonesia, Nia menilai pemerintah masih sangat minim, bahkan tidak ada. Dalam pengamatan Nia, pemerintah kerapkali bersikap pasif dalam memberi dukungan gelaran apresiasi film yang tidak berasal dari ide pemerintah. “Mereka (pemerintah) lebih mendukung kegiatan-kegiatan yang berasal dari ide mereka sendiri,” paparnya. Nia mencontoh gelaran FFI (Festival Film Indonesia) yang menurutnya hanya sebatas gelaran awarding one night only dan tidak ada manfaat kelanjutannya. “Pemerintah mati-matian mendukung Festival Film Indonesia,” ungkapnya. Nyatanya memang sangat sulit meminta dukungan pemerintah untuk kegiatan-kegiatan seperti ini.

Shanty dalam konferensi pers lalu mengaku sangat sulit mengubah pola pikir pemerintah yang hanya melihat visi dari JiFFest. "Ini dilihat sebagai beban, bukan opportunity (kesempatan). Padahal, banyak benefit (keuntungan) yang didapat dari festival ini. Menurut saya, pemerintah belum mengerti," ujarnya. Menyikapi situasi yang dihadapi panitia penyelenggara JIFFest tahun ini, Nia menyarankan memang perlu diadakan penggalangan dana dari masyarakat atau lembaga yang peduli. “Tidak perlu menunggu pemerintah,” ungkapnya. Nia meyakini perusahaan-perusahaan bertajuk Indonesia atau industri rokok seharusnya mau untuk mendukung. “Katakan ada lima perusahaan, masing-masing Rp200 juta. Itu seharusnya cukup menutup setengah rencana anggaran dana JIFFest. Setelah selama ini meracuni bangsa ini, seharusnya Rp200 juta tidak susah untuk ukuran perusahaan-perusahaan itu,” paparnya.

Memang, mengatasi masalah dana yang dihadapi rencana gelaran JIFFest tahun ini, sejak beberapa waktu lalu panitia memang sudah mulai bergerilya menggiatkan penggalangan dana dari masyarakat, penonton, sineas, dan perusahaan film melalui program Save Our JiFFest. Melalu penggalangan dana ini pihak JIFFest mengaku sudah mendapat bantuan dari beberapa pihak sejak gerakan 'Save Our JiFFest' diluncurkan dan perbincangan ramai di jejaring sosial. "Sejauh ini sudah kekumpul sekitar 70 juta-an," kata Lalu seperti yang dikonfirmasi Detik.com.

Anda berminat untuk membantu JIFFest? Bantuan bisa dikirimkan ke nomor rekening 7420030091 BCA Percetakan Negara atas nama Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia. Nama Anda akan tercantum dalam materi publikasi penyelenggaraan JiFFest, seperti katalog, website, dan trailer. Mari selamatkan wahana apresiasi film nasional. Let's Save Our JIFFest!

Comments