Timnas VS Uruguay VS Wasior
Hun,
Well, paling tidak, timnas kita terlebih dahulu lewat gol Boaz Salossa pada menit 17. Gol yang lumayan berkelas. Lumayan mengejutkan. Sialnya, setelah itu, gantian anak-anak Oscar Tabarez yang membombardir timnas kita yang kali ini diarsiteki Alfred Riedl. Unggul secara fisik, kecepatan, teknik permainan, dan mental percaya diri, menguasai permainan hampir setengah lapangan Uruguay mengurung timnas dan memanen gol demi gol lewat Edinson Cavani, Luis Suarez, dan Sebastian Eguen.
Serunya lagi, akibat terus dihujani gol dan melihat ketidakberdayaan timnas kita, ribuan suporter tuan rumah marah. Beberapa kali penonton tribun meneriakkan "Nurdin mundur!!!, Nurdin Mundur !!". Pas. Pertandingan itu juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri.
Hmm, paling tidak ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pertandingan persahabatan ini. Mudah-mudahan pemain, pelatih, ketua PSSI dan punggawanya, presiden bangsa ini, bahkan kita sebagai pecinta timnas, bisa belajar dan tahu diri kalau memang ingin sepakbola Indonesia maju!
Ironis, bangsa yang lain persepakbolaannya berkembang. Kok, kenapa bangsa ini yang pernah merajai sepakbola asia, kini malah terpuruk? Kenapa Nurdin Khalid dan kroni-kroninya, yang terbukti koruptor dan tidak berhasil memimpin PSSI masih bertahan menjadi pemimpin PSSI?
Ohya, ada yang harus dicatat dan digarisbawahi lagi dari gelaran kemarin itu. SBY dan istri dengan sumringahnya hadir menyaksikan pertandingan tersebut, dari awal hingga akhir. Dengan penuh senyum, sempat pula turun ke lapangan dan menyalami para pemain. Harus, ya?
Di bagian lain wilayah bangsa ini, tepatnya daerah timur Indonesia, Papua, ada bencana besar melanda. Di Wasior, bencana banjir dan longsor meluluhkan kehidupan di sana. Herannya, di sini, di Jakarta, kita masih bersorak kegirangan. Presidennya pun ikut bersorak. Kalau memang bisa turn back the time, seharusnya pertandingan itu ditunda dulu. Kalau memang bisa, presiden tak perlu datang. Kenapa? Kita seolah tidak peduli (atau memang benar tidak peduli?). Seharusnya dalam pertandingan itu, ditunjukan pula apresiasi turut berdukacita atas musibah di Wasior, Papua. Lihat beritanya di sini.
Caranya? Bisa banyak cara. Apa susahnya mengheningkan cipta sesaat dipimpin sang presiden. Apa susahnya mengenakan pita hitam di lengan baju tanda berduka. Hal ini sepertinya sudah kerap ditunjukkan di pentas sepakbola internasional, bahkan untuk duka paling kecilpun. Kalau memang dana hasil pertandingan itu tidak disumbangkan ke para korban bencana, paling tidak kita sudah menunjukkan kepedulian dan doa sebagai tanda kita bersatu dan bersaudara.
Begitulah, tiw.
Well, paling tidak, timnas kita terlebih dahulu lewat gol Boaz Salossa pada menit 17. Gol yang lumayan berkelas. Lumayan mengejutkan. Sialnya, setelah itu, gantian anak-anak Oscar Tabarez yang membombardir timnas kita yang kali ini diarsiteki Alfred Riedl. Unggul secara fisik, kecepatan, teknik permainan, dan mental percaya diri, menguasai permainan hampir setengah lapangan Uruguay mengurung timnas dan memanen gol demi gol lewat Edinson Cavani, Luis Suarez, dan Sebastian Eguen.
Serunya lagi, akibat terus dihujani gol dan melihat ketidakberdayaan timnas kita, ribuan suporter tuan rumah marah. Beberapa kali penonton tribun meneriakkan "Nurdin mundur!!!, Nurdin Mundur !!". Pas. Pertandingan itu juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri.
Hmm, paling tidak ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pertandingan persahabatan ini. Mudah-mudahan pemain, pelatih, ketua PSSI dan punggawanya, presiden bangsa ini, bahkan kita sebagai pecinta timnas, bisa belajar dan tahu diri kalau memang ingin sepakbola Indonesia maju!
Ironis, bangsa yang lain persepakbolaannya berkembang. Kok, kenapa bangsa ini yang pernah merajai sepakbola asia, kini malah terpuruk? Kenapa Nurdin Khalid dan kroni-kroninya, yang terbukti koruptor dan tidak berhasil memimpin PSSI masih bertahan menjadi pemimpin PSSI?
Ohya, ada yang harus dicatat dan digarisbawahi lagi dari gelaran kemarin itu. SBY dan istri dengan sumringahnya hadir menyaksikan pertandingan tersebut, dari awal hingga akhir. Dengan penuh senyum, sempat pula turun ke lapangan dan menyalami para pemain. Harus, ya?
Di bagian lain wilayah bangsa ini, tepatnya daerah timur Indonesia, Papua, ada bencana besar melanda. Di Wasior, bencana banjir dan longsor meluluhkan kehidupan di sana. Herannya, di sini, di Jakarta, kita masih bersorak kegirangan. Presidennya pun ikut bersorak. Kalau memang bisa turn back the time, seharusnya pertandingan itu ditunda dulu. Kalau memang bisa, presiden tak perlu datang. Kenapa? Kita seolah tidak peduli (atau memang benar tidak peduli?). Seharusnya dalam pertandingan itu, ditunjukan pula apresiasi turut berdukacita atas musibah di Wasior, Papua. Lihat beritanya di sini.
Caranya? Bisa banyak cara. Apa susahnya mengheningkan cipta sesaat dipimpin sang presiden. Apa susahnya mengenakan pita hitam di lengan baju tanda berduka. Hal ini sepertinya sudah kerap ditunjukkan di pentas sepakbola internasional, bahkan untuk duka paling kecilpun. Kalau memang dana hasil pertandingan itu tidak disumbangkan ke para korban bencana, paling tidak kita sudah menunjukkan kepedulian dan doa sebagai tanda kita bersatu dan bersaudara.
Begitulah, tiw.
Comments