Jakarta

Jakarta, Mal, Mal, dan Mal
Kalo Gini Terus-terusan Bakalan Tenggelem!!




Tiw, ini kabar yang gue terima hari ini. Soal Jakarta!

Padatnya Jakarta sekarang nggak bikin para pengambil kebijakan di kota ini berentiin penambahan pusat belanja baru. Malahan, dalam dua tahun ke depan, udah direncanain bakal ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Info ini terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasiin pas 28 April 2008 kemaren. Kata riset itu, 40% penambahan pusat belanja bakal ada di Jakarta Utara, 20% ada di Jakarta Selatan, dan 18% di Central Business District Jakarta. Sementara itu, sisanya bakal kesebar di daerah-daerah lain di Jakarta. Luas pusat belanja di Jakarta kira-kira bakal sampe 3,33 juta meter persegi.

Beberapa pusat belanja yang rencananya bakal beroperasi pas tahun ini, misalnya Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak dari nambahnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin ilangnya daerah resapan air di kota ini. Pengalihan fungsi kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air jadi pusat belanja dan kawasan komersial adalah fakta yang nggak bisa dilepasin dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Kalo ngerujuk ke Rencana Induk Jakarta 1965-1985, areal ini seluas 279 hektare ini dijadiin ruang terbuka hijau. Di atasnya cuman boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal 16% dari luas total. Tapi, di kawasan itu sekarang malah udah ada Senayan City, Plaza Senayan, Senayan Trade Center, Ratu Plaza, dan bangunan megah lainnya.

Hal yang sama juga kejadian sama utan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 ngerencanain lahan di Simpang Tomang ini jadi sabuk hijau Jakarta. Lha, sekarang, utan itu berubah jadi Mediterranean Garden Residence I, Mediterranean Garden Residence II, serta Mal Taman Anggrek.

Pengalihan fungsi RTH besar-besaran jadi kawasan komersial sama para pemilik modal gede juga kejadian di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Sialnya, sampe sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nggak mau ngambil tindakan buat para pemilik modal gede tersebut. Celakanya lagi, sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta terus-terusan diulang sampe sekarang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal, menurut data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, nyusutnya daerah resapan air, baik berupa setu maupun ruang terbuka hijau sama aktivitas pembangunan udah bikin dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap taun cuman 26,6% yang keserap tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4%, jadi air larian (run off) yang potensial bikin banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007). Bukan itu aja, pengambilan air tanah besar-besaran plus beban bangunan di atas tanah kota ini udah bikin turun permukaan tanah di kota ini sampe 30 sentimeter setiap taun. Artinya, potensi banjir di Jakarta bakal makin gede, apalagi dengan tambahan 13 pusat belanja baru itu.

Padahal kalo mau jujur, biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulin sama banjir di kota ini nggak kecil. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), misalnya, udah ngitung-ngitung total kerugian akibat banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 2007 mencapai Rp8 triliun. Dari jumlah itu, Bappenas ngerinci kerugian dari rumah penduduk yang rusak Rp1,7 triliun dan infrastruktur Rp600 miliar. Sementara itu, kerugian dari sektor industri, perbankan, serta usaha kecil dan menengah dikira-kira mencapai Rp2 triliun.

Secara sosial, rencana penambahan pusat belanja itu bakalan nyakitin hati warga miskin kota yang jadi korban gusuran dengan dalih penambahan RTH sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Penggusuran itu, menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lantaran sempitnya luas tanah di kota ini buat nambah RTH tanpa ngusir warga miskin kota yang kebetulan nempatin kawasan yang direncanain. Buat nambah RTH, pemerintah DKI selalu ngaku kekurangan tanah, tapi nggak kekurangan buat ngebangun pusat belanja baru dan kawasan komersial lainnya.

Selain itu, penambahan kawasan komersial baru bakal nambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Ini karena pengunjung pusat belanja tersebut sebagian besar adalah konsumen yang bawa kendaraan pribadi. Kemacetan ini juga nggak cuman bakal mengurangi waktu produktif warga kota, tapi juga bikin naik biaya kesehatan akibat polusi udara yang timbul.

Ngomong soal kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi nyimpulin bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta udah nimbulin kerugian ekonomi sebesar Rp5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 nyebutin bahwa kemacetan lalu lintas di DKI udah bikin kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang kalo dinominalin bakal nyampe Rp7,1 triliun. Adapun polusi udara yang ditimbulin karena naiknya kemacetan lalu lintas juga bikin peningkatan biaya kesehatan yang tinggi banget. Hasil kajian Bank Dunia nyimpulin dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp1,8 triliun.

Bisa dibayangin beratnya beban yang kudu dipikul warga Jakarta dua tahun yang bakal datang. Fenomena pembangunan usang yang dipake para pengambil kebijakan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta benar-benar udah bikin kota ini kolaps. Fenomena ini jadi kayak keharusan buat menuhin target pertumbuhan ekonomi, tapi ngesampingin biaya-biaya sosial dan lingkungan yang timbul akibat kebijakan pembangunan.

Buat nyelamatian warga kota dari bencana ekologi yang bakal makin sering kejadian dan gede-gedean, nggak bisa nggak fenomena pembangunan usang kayak gini kudu dibongkar. Pembangunan pusat belanja baru di kota ini kudu udah diberentiin. Udah gitu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kudu buru-buru meeting buat ngebahas ulang tata ruang kota yang udah aut-autan ini. Para pengambil kebijbakan di Jakarta kudu balik ke mandatnya semula, nempatin kepentingan warga kota jauh di atas kepentingan para pemilik modal yang pengen ngancurin kota ini lewat penambahan kawasan komersial baru.

Jadi gimana, tiw?

Sumber:
Koran TEMPO / Selasa, 06 Mei 2008
Opini, ‘Jakarta Kolaps!’, Firdaus Cahyadi
(edit, JUICE-ed)

Comments

Popular Posts