ISLAM DAN TEKNOLOGI GRAFIK
Membuat Tiruan Mahluk Hidup dalam Animasi Komputer dan Robot*
Tiw, sebenarnya sudah lama terpikirkan hal ini, cuma baru sekarang-sekarang ini memberanikan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kali ini mengenai kemajuan teknologi komputer dalam tema animasi dan robot yang disinggungkan dengan larangan dalam agama saya (Islam) mengenai pembuatan gambar atau pun lukisan mahluk hidup, terlebih lagi objek-objek tersebut tampak sangat hidup. Tujuan penulisan ini sungguh-sungguh bukan bermaksud untuk mematikan kreativitas dan memadamkan semangat inovasi siapapun yang kini sedang sibuk-sibuknya dengan bidang animasi, desain visual terkomputer, dan lain-lain. Tidak mau mau juga saya dicap mencampur-adukkan perkembangan teknologi dengan kepercayaan saya. Terus terang saya malah tengah bangganya dengan perkembangan film animasi di tanah air. Apalagi, pemerindah baru-baru ini telah meluncurkan serial animasi pertama karya animator tanah air, Si Kabayan dan Lip Lap (Film kerja sama Depdag dengan Castle Production). Sebaliknya, saya kepingin ulasan ini menjadi pencerahan dan motivasi bagi para pekerja animasi Indonesia. Jujur saja, mungkin ada penggiat animasi Indonesia yang kreativitasnnya terhalangi akibat simpang siurnya tafsir 'aturan' dalam agama mereka (khususnya Islam) soal haram-halalnya menirukan image makluk hidup dalam bentuk animasi dan robot. Kalau diingat-ingat, ajaran Islam melarang pembuatan gambar atau lukisan mahluk hidup, terlebih lagi objek-objek tersebut tampak sangat hidup. Karena kalau tidak salah termasuk dalam usaha meniru perbuatan Sang Pencipta. Kita tentu masih ingat dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia (terutama di tanah Jawa). Pengaruh Islam dalam bidang seni, misalnya, Islam melarang penampilkan gambar makhluk hidup utuh dalam semua karya seni. Kalaupun ada, harus disamarkan. Akhirnya, lahirlah teknik stilasi (penyamaran) dalam ranah seni kita. Tidak hanya itu, sampai sekarangpun, masih banyak masyarakat (pemeluk Islam) yang percaya bahwa rumah yang dihiasi lukisan manusia dan patung berwujud makhluk hidup adalah rumah yang tidak diberkati Sang Khalik. Makanya banyak dari mereka yang memilih tidak memajang karya-karya tersebut dalam rumah mereka daripada seret rejeki dan tidak disinggahi malaikat. Lantas bagaimana dengan sekarang? Bagaimana hukumnya dengan membuat objek dalam bentuk animasi. Tak bisa dipungkiri, dengan kemajuan teknologi saat ini, membuat objek di komputer menjadi lebih canggih dibandingkan membuat lukisan. Dan lagi, dalam bentuk animasi objek-objek mahluk tersebut tampak sangat nyata dan bisa bergerak—benar-benar hidup. Bagaimana pula dengan perkembangan teknologi di Jepang dan negara-negara lain yang sedang berusaha membuat robot dengan sifat, kemampuan, dan tingkah laku menyerupai mahluk hidup, sebut saja salah satunya, ASIMO (Advanced Step in Innovative Mobility), robot humanoid yang dikembangkan Honda sejak 1986. Sebenarnya, kalau kita membaca sekian banyak pendapat ulama tentang masalah gambar, banyak pendapat mereka yang masih saling bertolak belakang. Ada sebagian pendapat ulama yang mengimplementasikan dalil-dalil haramnya gambar dan patung dengan apa adanya. Segala tiruan dari makhluk hidup langsung dicap haram. Tidak mempedulikan kepentingan atau manfaatnya. Ulama-ulama yang cenderung konservatif ini juga mengharamkan juga fotografi. Jangan salah, bila untuk KTP mereka pun tidak ada pas fotonya. Hmm, agak lucu jadinya. Bagaimana dengan gambar tokoh dalam mata uang? Apa mereka akan memaksa untuk dihilangkan? Di sisi lainnya, ada pendapat yang membedakan antara gambar dua dimensi dengan gambar tiga dimensi. Sederhanyanya, dengan membedakan gambar yang punya bayangan dan tidak punya bayangan. Segala bentuk patung yang berupa benda tiga dimensi mereka haramkan, sedangkan gambar atau lukisan pada kertas atau kanvas, tidak diharamkan. Tidak berhenti di situ, ada juga kelompok ulama yang berpendapat bahwa gambar makhluk hidup dua dimensi pun diharamkan, kecuali bila sebagian tubuhnya dihilangkan atau disamarkan. Jadi, tidak menggambarkan makhluk hidup secara utuh. Akibatnya, dalam banyak gambar, kami sering menemukan gambar orang, misalnya, yang sedang beraktivitas, tetapi wajahnya dihilangkan. Alasannya, dengan menghilangkan wajah dalam gambar tersebut, maka tidak lagi bisa dikatakan sebagai usaha untuk meniru ciptaan Tuhan. Sampai di sini seharusnya kita bisa bertanya. Sebenarnya apa maksud larangan meniru ciptaan Tuhan? Apakah secara mutlak manusia ini tidak boleh meniru ciptaan Tuhan? Sudah barang pasti, sebagai manusia yang diberkati Tuhan dengan akal dan kemampuan berpikir, kita perlu sedikit kritis dalam memahami konteks pelarangan ini. Dalam kitab suci agama banyak sekali anjuran dan imbauan kepada manusia untuk merenungkan keagungan, kekuasaan, dan ciptaan Tuhan. Tujuannya selain untuk mensyukuri dan merasakan kekuasaan-Nya, juga untuk mengambil pelajaran yang akan memperkuat kepercayaan dan sikap takwa kita figur pencipta kita dan kehidupan ini. Percaya atau tidak, begitu banyak kemajuan teknologi yang telah manusia ciptakan atau temukan hingga hari ini yang berawal dari 'meniru' ciptaan Tuhan. Pesawat terbang tidak ditemukan kecuali manusia meniru prinsip burung-burung yang bisa terbang. Kapal selam tidak tercipta kecuali manusia melihat, mempelajari, dan meniru prinsip-prinsip yang terdapat pada makhluk bawah air. Contoh lainnya, bendungan besar dibuat berdasarkan tiruan dari 'arsitek' ciptaan Tuhan, berang-berang air. Bahkan, di dunia kedokteran kita telah menemukan alat-alat buatan yang bisa diimplan ke dalam tubuh, sebagai pengganti fungsi organ yang sudah rusak. Meski demikian, kita harus bijak menilai dan menempatkan karya-karya tersebut bukan sebagai maksud untuk menandingi kemampuan Tuhan. Apalagi, bukankah Tuhan sendiri memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah di dunia ini yang dengan kemampuannya akan membangun dan memakmurkan dunia ini? Di samping itu, seingat saya, dalam firmannya, Tuhan juga memberi kesempatan kepada manusianya untuk mencipta dengan cara belajar dari melihat, memperhatikan, dan meniru yang telah Tuhan ciptakan. Larangan meniru ciptaan Tuhan itu sebaiknya tidak dipahami sebagai larangan; bahwa manusia tidak boleh melakukan penelitian, inovasi, penemuan, dan penciptaan ilmiyah lainnya. Robot-robot yang diciptakan itu, atau bahkan manusia bionic, android, cyborg, dan sejenisnya, tentu diciptakan bukan dengan maksud untuk menentang dan menandingi kekuasaan Tuhan. Sederhananya, robot-robot itu diciptakan justru untuk memudahkan hidup manusia, membantu pekerjaan manusia. Contoh sederhana yang bisa kita ambil, pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan untuk manusia dapat dilakukan oleh robot. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat ketimbang mempertaruhkan nyawa manusia. Demikian juga robot-robot yang dikembangkan dalam bidang industri dan kedokteran. Khusus untuk kedokteran (pengobatan), robot-robot tersebut bisa digunakan untuk melakukan penyelamatan dengan tingkat kesulitan tinggi yang sangat beresiko bagi nyawa manusia bila dilakukan oleh manusia. Di sisi lain, bahwa ada sebagian ilmuwan yang merasa dirinya mampu menciptakan sesuatu yang lebih sempurna dari Tuhan, lalu merasa tidak perlu lagi menyembah Tuhan, adalah hal yang sudah sangat biasa terjadi. Tapi, kita harus bijak menyikapi fenomena tersebut, yang salah bukan pada karya ilmuan tersebut, melainkan pada jiwa sang ilmuan. Jadi, menjawab pertanyaan tentang hukum robot-robot itu, bisa dijelaskan bahwa. Robot itu secara umum tidak diciptakan untuk meniru kekuasaan Tuhan lalu untuk menentang-Nya. Sebaliknya, patung-patung berhala yang biasanya disembah itu, memang diciptakan untuk meniru ciptaan Tuhan dan disembah-sembah. Maka, jadilah patung itu diharamkan di dalam Islam, meski bukan untuk disembah berhala. Adapun gambar makhluk bernyawa, para ulama masih berselisih paham, diharamkan secara mutlak ataukah dengan syarat. Mengenai fotografi, umumnya mereka mengatakan tidak sama dengan lukisan sebab fotografi adalah bayangan yang ditangkap dan disimpan, bukan usaha untuk membuat tiruan layaknya lukisan.
* didukung dari berbagai sumber: Wikipedia.com, Okezone.com, Yahoo.com
Tiw, sebenarnya sudah lama terpikirkan hal ini, cuma baru sekarang-sekarang ini memberanikan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kali ini mengenai kemajuan teknologi komputer dalam tema animasi dan robot yang disinggungkan dengan larangan dalam agama saya (Islam) mengenai pembuatan gambar atau pun lukisan mahluk hidup, terlebih lagi objek-objek tersebut tampak sangat hidup. Tujuan penulisan ini sungguh-sungguh bukan bermaksud untuk mematikan kreativitas dan memadamkan semangat inovasi siapapun yang kini sedang sibuk-sibuknya dengan bidang animasi, desain visual terkomputer, dan lain-lain. Tidak mau mau juga saya dicap mencampur-adukkan perkembangan teknologi dengan kepercayaan saya. Terus terang saya malah tengah bangganya dengan perkembangan film animasi di tanah air. Apalagi, pemerindah baru-baru ini telah meluncurkan serial animasi pertama karya animator tanah air, Si Kabayan dan Lip Lap (Film kerja sama Depdag dengan Castle Production). Sebaliknya, saya kepingin ulasan ini menjadi pencerahan dan motivasi bagi para pekerja animasi Indonesia. Jujur saja, mungkin ada penggiat animasi Indonesia yang kreativitasnnya terhalangi akibat simpang siurnya tafsir 'aturan' dalam agama mereka (khususnya Islam) soal haram-halalnya menirukan image makluk hidup dalam bentuk animasi dan robot. Kalau diingat-ingat, ajaran Islam melarang pembuatan gambar atau lukisan mahluk hidup, terlebih lagi objek-objek tersebut tampak sangat hidup. Karena kalau tidak salah termasuk dalam usaha meniru perbuatan Sang Pencipta. Kita tentu masih ingat dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia (terutama di tanah Jawa). Pengaruh Islam dalam bidang seni, misalnya, Islam melarang penampilkan gambar makhluk hidup utuh dalam semua karya seni. Kalaupun ada, harus disamarkan. Akhirnya, lahirlah teknik stilasi (penyamaran) dalam ranah seni kita. Tidak hanya itu, sampai sekarangpun, masih banyak masyarakat (pemeluk Islam) yang percaya bahwa rumah yang dihiasi lukisan manusia dan patung berwujud makhluk hidup adalah rumah yang tidak diberkati Sang Khalik. Makanya banyak dari mereka yang memilih tidak memajang karya-karya tersebut dalam rumah mereka daripada seret rejeki dan tidak disinggahi malaikat. Lantas bagaimana dengan sekarang? Bagaimana hukumnya dengan membuat objek dalam bentuk animasi. Tak bisa dipungkiri, dengan kemajuan teknologi saat ini, membuat objek di komputer menjadi lebih canggih dibandingkan membuat lukisan. Dan lagi, dalam bentuk animasi objek-objek mahluk tersebut tampak sangat nyata dan bisa bergerak—benar-benar hidup. Bagaimana pula dengan perkembangan teknologi di Jepang dan negara-negara lain yang sedang berusaha membuat robot dengan sifat, kemampuan, dan tingkah laku menyerupai mahluk hidup, sebut saja salah satunya, ASIMO (Advanced Step in Innovative Mobility), robot humanoid yang dikembangkan Honda sejak 1986. Sebenarnya, kalau kita membaca sekian banyak pendapat ulama tentang masalah gambar, banyak pendapat mereka yang masih saling bertolak belakang. Ada sebagian pendapat ulama yang mengimplementasikan dalil-dalil haramnya gambar dan patung dengan apa adanya. Segala tiruan dari makhluk hidup langsung dicap haram. Tidak mempedulikan kepentingan atau manfaatnya. Ulama-ulama yang cenderung konservatif ini juga mengharamkan juga fotografi. Jangan salah, bila untuk KTP mereka pun tidak ada pas fotonya. Hmm, agak lucu jadinya. Bagaimana dengan gambar tokoh dalam mata uang? Apa mereka akan memaksa untuk dihilangkan? Di sisi lainnya, ada pendapat yang membedakan antara gambar dua dimensi dengan gambar tiga dimensi. Sederhanyanya, dengan membedakan gambar yang punya bayangan dan tidak punya bayangan. Segala bentuk patung yang berupa benda tiga dimensi mereka haramkan, sedangkan gambar atau lukisan pada kertas atau kanvas, tidak diharamkan. Tidak berhenti di situ, ada juga kelompok ulama yang berpendapat bahwa gambar makhluk hidup dua dimensi pun diharamkan, kecuali bila sebagian tubuhnya dihilangkan atau disamarkan. Jadi, tidak menggambarkan makhluk hidup secara utuh. Akibatnya, dalam banyak gambar, kami sering menemukan gambar orang, misalnya, yang sedang beraktivitas, tetapi wajahnya dihilangkan. Alasannya, dengan menghilangkan wajah dalam gambar tersebut, maka tidak lagi bisa dikatakan sebagai usaha untuk meniru ciptaan Tuhan. Sampai di sini seharusnya kita bisa bertanya. Sebenarnya apa maksud larangan meniru ciptaan Tuhan? Apakah secara mutlak manusia ini tidak boleh meniru ciptaan Tuhan? Sudah barang pasti, sebagai manusia yang diberkati Tuhan dengan akal dan kemampuan berpikir, kita perlu sedikit kritis dalam memahami konteks pelarangan ini. Dalam kitab suci agama banyak sekali anjuran dan imbauan kepada manusia untuk merenungkan keagungan, kekuasaan, dan ciptaan Tuhan. Tujuannya selain untuk mensyukuri dan merasakan kekuasaan-Nya, juga untuk mengambil pelajaran yang akan memperkuat kepercayaan dan sikap takwa kita figur pencipta kita dan kehidupan ini. Percaya atau tidak, begitu banyak kemajuan teknologi yang telah manusia ciptakan atau temukan hingga hari ini yang berawal dari 'meniru' ciptaan Tuhan. Pesawat terbang tidak ditemukan kecuali manusia meniru prinsip burung-burung yang bisa terbang. Kapal selam tidak tercipta kecuali manusia melihat, mempelajari, dan meniru prinsip-prinsip yang terdapat pada makhluk bawah air. Contoh lainnya, bendungan besar dibuat berdasarkan tiruan dari 'arsitek' ciptaan Tuhan, berang-berang air. Bahkan, di dunia kedokteran kita telah menemukan alat-alat buatan yang bisa diimplan ke dalam tubuh, sebagai pengganti fungsi organ yang sudah rusak. Meski demikian, kita harus bijak menilai dan menempatkan karya-karya tersebut bukan sebagai maksud untuk menandingi kemampuan Tuhan. Apalagi, bukankah Tuhan sendiri memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah di dunia ini yang dengan kemampuannya akan membangun dan memakmurkan dunia ini? Di samping itu, seingat saya, dalam firmannya, Tuhan juga memberi kesempatan kepada manusianya untuk mencipta dengan cara belajar dari melihat, memperhatikan, dan meniru yang telah Tuhan ciptakan. Larangan meniru ciptaan Tuhan itu sebaiknya tidak dipahami sebagai larangan; bahwa manusia tidak boleh melakukan penelitian, inovasi, penemuan, dan penciptaan ilmiyah lainnya. Robot-robot yang diciptakan itu, atau bahkan manusia bionic, android, cyborg, dan sejenisnya, tentu diciptakan bukan dengan maksud untuk menentang dan menandingi kekuasaan Tuhan. Sederhananya, robot-robot itu diciptakan justru untuk memudahkan hidup manusia, membantu pekerjaan manusia. Contoh sederhana yang bisa kita ambil, pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan untuk manusia dapat dilakukan oleh robot. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat ketimbang mempertaruhkan nyawa manusia. Demikian juga robot-robot yang dikembangkan dalam bidang industri dan kedokteran. Khusus untuk kedokteran (pengobatan), robot-robot tersebut bisa digunakan untuk melakukan penyelamatan dengan tingkat kesulitan tinggi yang sangat beresiko bagi nyawa manusia bila dilakukan oleh manusia. Di sisi lain, bahwa ada sebagian ilmuwan yang merasa dirinya mampu menciptakan sesuatu yang lebih sempurna dari Tuhan, lalu merasa tidak perlu lagi menyembah Tuhan, adalah hal yang sudah sangat biasa terjadi. Tapi, kita harus bijak menyikapi fenomena tersebut, yang salah bukan pada karya ilmuan tersebut, melainkan pada jiwa sang ilmuan. Jadi, menjawab pertanyaan tentang hukum robot-robot itu, bisa dijelaskan bahwa. Robot itu secara umum tidak diciptakan untuk meniru kekuasaan Tuhan lalu untuk menentang-Nya. Sebaliknya, patung-patung berhala yang biasanya disembah itu, memang diciptakan untuk meniru ciptaan Tuhan dan disembah-sembah. Maka, jadilah patung itu diharamkan di dalam Islam, meski bukan untuk disembah berhala. Adapun gambar makhluk bernyawa, para ulama masih berselisih paham, diharamkan secara mutlak ataukah dengan syarat. Mengenai fotografi, umumnya mereka mengatakan tidak sama dengan lukisan sebab fotografi adalah bayangan yang ditangkap dan disimpan, bukan usaha untuk membuat tiruan layaknya lukisan.
* didukung dari berbagai sumber: Wikipedia.com, Okezone.com, Yahoo.com
Comments