Hahaha, bahasa Indonesia!

Ini yang pernah gue tulis dalam sebuah percakapan via email dengan seorang teman perempuan.

Itu dia! Soal pengindonesiaan! Memang sudah dan pernah ada upaya untuk mengIndonesiakan (atau sedang berlangsung, ya?) segala tema dan lema dalam kehidupan orang Indonesia, semata-mata karena kita orang Indonesia yang tinggal di Indonesia.

Tapi, apa memang harus begitu? Mengingat kemampuan bahasa Indonesia dan juga kemampuan bangsa Indonesia dalam mengadaptasi. Selain itu, rasanya nggak harus dipaksakan juga. Sebab ya, seperti itulah bahasa-bahasa di dunia ini berkembang, interaksi satu bahasa dengan bahasa yang lain distribusi, asimilasi, akulturasi, transformasi generatif-nya chomsky, atau apalah, dan lain-lain.

Tinggal bagaimana pengguna bahasa tersebut mau menggunakan atau nggak. Nggak heran kalo ada beberapa bahasa di dunia ini yang mati lantaran nggak ada penggunanya lagi, dicampakkan! Dari sini seharusnya kita belajar tentang perlunya suatu bahasa berkembang, mengikuti zaman, tetep in, dan digemari terus pemakainya. Buktinya konkret sekarang adalah kemunculan varian (mixing) sin-lish, dan lain-lain.

Jadi, jangan kaget kalo mungkin suatu saat nanti akan muncul subbahasa baru (varian atau versi) bahasa Indonesia, macam ind-lish. Bukankah itu justru memperkaya khazanah bahasa Indonesia? Ini informasi yang gue dapet dari wawancara dengan Nazzarudin, dosen JSI UI. Tapi, kalo menurut gue, yang saat ini perlu diperhatikan mengingat kemajuan zaman dan manusianya, muncul kekhawatiran: untuk apa mengIndonesiakan sesuatu yang udah nyaman di telinga orang Indonesia, bukankah malah menambah asing sesuatu yang sudah asing? Misalnya aja download yang diganti jadi unduh, stapler/s jadi penyukut.

Gitu kali yah? Gak tau, ah. What da f!!

Belum lagi kalau kita bicara soal kenyamanan komunikasi dengan bahasa sebagai alat komunikasinya. Nah, ini urusan akan jadi lebih panjang kalo kita ngomongin soal kesenjangan yang terjadi antara bahasa Indonesia dengan English, ditinjau dari demografi dan sosiologis masyarakat Indonesia. Timbul semacam prestis terhadap penggunaan bahasa asing dan kehinaan terhadap bahasa daerah.

Hhmmm, sebenernya masih banyak contohnya. Bahkan jauh lebih aneh, misalnya: 1. feature 2. fitur 3. ficer

Gimana? Itu pun masih berbau English, kan? Well, gimana kalo yang bener2 bahasa asli Indonesia, yah? (menurut Nazar, ada beberapa cara/kaidah pengIndonesiaan istilah asing: penyerapan unsur bunyi, substitusi, dan peminjangan/pengambilan secara utuh dari bahasa asing) dan lain-lainnya gitu, deh.

Anyway, begitu deh bahasa Indonesia, masih banyak kekurangannya dan justru kekurangannya itu, kalau menurut gue bahasa Indonesia perlu membuka diri. Bukan malah menutup diri. Walau memang perlu juga kewaspadaan setidaknya untuk menunjukkan kepedulian terhadap bahasa Indonesia. Speaking bahasa? Fuc*.

Tapi, kalaupun memang pengindonesiaan itu tetap harus dijalankan, menurut gue satu hal yang perlu ditegaskan, sosialisasi menyeluruh. Biar semua orang tau. Tau tuh orang pppb yang ngakunya sebagai pusat pengkajian, pengembangan bahasa Indonesia anjritt. Mereka bisanya cuma ngoceh teori2 bahasa yang udah basi, ngecangkung bego, trus makan gaji buta pula!!!

Maaf kalo sok tau... Okeh, tema yang lain, please!

Comments