maling tega, polisi tega, yang nonton juga tega
Potret Kelakuan Aparat
ADA kejadian unik beberapa lalu yang saya saksikan langsung, dan itu masih membekas dalam ingatan di kepala saya. Meski bukan saya yang mengalami—kejadian itu berlangsung tepat di hadapan saya—ada kesan tersendiri yang masih saya rekam hingga saat ini. Tiba-tiba jalanan yang saya lalu dengan kendaraan umum menjadi macet. Segerombolan orang berhamburan di jalan raya menuju satu titik. Klakson kendaraan berganti menimpali. Apa yang terjadi? Setelah bersusah payah menerobos lalu lintas yang tiba-tiba stuck, akhirnya saya tiba sampe di satu titik tempat berkerumunnya orang-orang tadi. Beberapa orang petugas polisi ’sibuk’ menangani satu sosok dengan tubuh kumal dan pakaian yang sudah tak karuan. Segerombolan orang pun sibuk pula mengerubung dan mengikuti polisi-polisi tadi membawa sosok kumal tersebut. Di satu kesempatan, saya bertanya pada satu bapak yang sedang asyik nonton. Tanya punya tanya, akhirnya saya tahu: “ada maling ketangkep basah!” Mungkin buat orang lain, ini bukan masalah. Bila ada maling atau pencuri yang tertangkap basah, tak ada pilihan lain, hajar! bahkan kalau perlu, bakar! Sayangnya, untuk kesempatan yang kali ini, saya merasa kasihan pada sosok yang yang diseret-seret polisi tadi (kata diseret di sini merujuk pada tindakan seret yang sebenarnya). Di bagian yang lain, saya juga menyayangkan perlakuan polisi-polisi itu. “Apa iya orang bersalah harus diperlakukan seperti itu? Apa iya cara itu yang diajarkan di Akademi Kepolisian RI dalam memperlakukan orang yang terpidana? Meski tidak terlalu dekat, saya masih bisa melihat sosok ’si terpidana’: sudah tak berkutik—mungkin itu alasannya kenapa polisi-polisi itu ‘terpaksa’ menggelandangnya dengan cara di seret—entah pingsan atau malah memang sudah mati. Dugaan saya, si pencuri yang tertangkap basah, sekarat, dan sekarang diseret-seret macam babi hutan hasil buruan itu memang sudah dihakimi terlebih dulu oleh orang-orang yang terlihat asyik bergerombol mengikuti polisi-polisi tadi. Dari kejadian itu, mungkin agak telat untuk bicara soal Hak Asasi Manusia, apalagi buat orang-orang dengan cap kriminal. Sayangnya, potret kejadian ini tak hanya gambaran yang terjadi sebulan sekali, lihat saja tayangan-tayangan berita kriminal di televisi: polisi-polisi yang bertindak seenaknya, sok aksi di depan kamera, main gebuk, jotos, tendang, dan kadang mengacung-acungkan pistol karatannya. Bukan bermaksud membela tindakan si maling yang lagi tertimpa nahas itu, tidak juga menyesalkan kesigapan orang-orang yang sukses menangkap si maling. Bagaimanapun, saya masih berpikir ada cara yang lebih ‘manusia’ untuk manusia sekelas bandit sekalipun. Paling tidak, kalaupun terpaksa melakukan hal seperti memukul, menyeret, menendang, atau kasarnya “menghakimi”, tidak perlu di muka umum. Kenapa saya sampai berpikir demikian? Karena saya pikir akan ada dampak negatif yang muncul pada orang-orang yang melihat kejadian itu. Di mata dan pikiran masyarakat umum secara psikologis akan tertanam pemahaman yang salah dari tindakan aparat tersebut. Maksud saya, masyarakat akan belajar cara menghukum orang yang bersalah. kalau kejadiannya polisi memukul, mereka juga akan menganggap bahwa cara menghukum dengan memukul adalah cara yang benar, demikian selanjutnya. Tak heran bila akhirnya bangsa kita dicap sebagai bangsa yang penuh budaya kekerasan. Tapi, ya sudahlah. Paling tidak saya bukan bandit itu yang harus kesakitan karena kesialannya dan menjadi dendam. Dan, yang penting, saya juga bukan polisi-polisi itu yang beraksi gagah-gagahan di atas sekian banyak stempel negatif kepolisian Indonesia. Salam.
Comments