dramatisasi overdosis legenda spartan


Jangan terlalu mudah memuji

Salut atas kesuksesan “balik modal” dan “laba” film 300. Hanya saja, saya menawarkan sebuah opsi untuk berani tukar pikiran secara objektif tentang film ini, mau?

Bukan saya tidak menyukai film ini dan menyesal telah menyaksikannya, tapi saya heran dengan komentar-komentar yang muncul dari orang-orang yang kebanyakan memuji film ini. Apakah saya yang buta dengan keistimewaan film ini gara-gara sibuk ngobrol sama Tiwo saat nonton? Hehehe, sepanjang menonton, Tiwo memang lebih banyak komentar ini-itu tentang Leonidas dan teman-temannya yang six-pack itu.

Coba kita analisis (kalau boleh memakai kata ‘kita’ dan ada yang mau berbagi pandangan). Dalam pemikiran saya, film ini tidak menawarkan hal-hal yang baru, hebat, atau bahkan sensasional dalam aspek sinema. Saya juga tidak bermaksud melecehkan legenda kehebatan pasukan Sparta/Spartan yang hanya dengan 300 orang sanggup menghalau tentara Parsi/Persia/Parsia dalam jumlah yang berlipat ganda. Tapi, sepertinya ada dramatisasi yang ‘overdosis’ dalam proses penuangan kisah tersebut dalam film.

Ini argumentasi saya:
Dari ide cerita, sebenarnya biasa saja bukan? Toh sebelum film ini, sudah ada film-film yang mengupas soal legenda, sejarah, atau mitos dalam bentuk kolosal sebut saja the Lord of the Ring, the Ten Commandment, the Patriot, Pearl Harbour, Tora, Tora, Tora atau dari tanah lokal ada epos Brama Kumbara Saur Sepuh, Lebak Membara hingga legenda si Pitung.

Dari alur cerita, menurut saya biasa saja. 300 menggunakan alur maju yang sangat mudah ditebak jalan ceritanya dengan hanya menggunakan satu pokok cerita dari awal hingga akhir, yaitu keperkasaan Leonidas. Sejak lahir, digembleng, kembali ke kota asal dan menjadi raja, hingga akhirnya muncul ‘tawaran’ dari Xerxes dan pertempuran. Ide-ide cerita yang lain yang seharusnya bisa menghidupkan cerita, tidak dibangun, atau benar-benar cuma bumbu, misalnya: usaha istri Leonidas untuk mempengaruhi parlemen dan penghianatan yang dilakukan orang terdekatnya. Kalau boleh membandingkan, the Lord of the Ring punya permainan alur dan suguhan kisah yang lebih komplet (meski terkesan rumit), tapi tetap dalam alur utama, yaitu, upaya menghancurkan kejahatan dengan bantuan ‘ring’. LotR menyajikan mulai dari pertempuran kejahatan dan kebaikan, kisah cinta manusia, kaum peri (elf), hingga disorientasi Smigol. Meskipun beberapa orang menjelaskan kisah LotR lebih hidup dalam versi bukunya. Bahkan bila dibandingkan lagi dengan kisah seri Harry Potter, sajian di 300 masih terlalu mudah dicerna. Permainan alur maju-mundur yang disodorkan di bagian awal jadi sia-sia, padahal meski rumit, Rashomon pernah dipuji-puji lantaran permainan alur linearnya. Sampai di sini, saya jadi muncul satu pertanyaan, “apa memang penonton sekarang lebih memilih sajian sekali duduk, habis?”

Lantas, soal “dramatisasi” yang saya tahbiskan di judul tulisan ini, terasa sekali manakala menyaksikan penggambaran dua karakter yang saling berseteru dalam 300 tersebut, bangsa Spartan/Sparta dan Parsia. Meskipun kisah penyerbuan Parsia ke Sparta (Yunani) ini telah melegenda, pertanyaannya sekarang, sebegitu sempurnakah orang2 Spartan? Atau sebegitu lalim dan berkuasanyakah Parsia—sampai-sampai Xerxes harus membawa-bawa tahtanya ke manapun dia pergi. Juga dengan kehadiran makhluk-makhluk aneh yang dibawa-bawa Xerxes, terasa berlebihan, tapi justru pincang sebab tidak dimaksimalkan. Bicara soal Xerxes sendiri, yang mengagungkan diri sebagai dewa, justru hanya ditampilkan sebagai sosok lemah gemulai dengan anting dan kalung berkilai mirip rapper-rapper bergaya bling-bling-bling. Belum lagi dengan hal sepele, cipratan darah yang tidak mengena sama sekali di tubuh tentara Sparta saat membantai ratusan musuhnya. Padahal, the Patriot sukses menampilkan adegan Mel Gibson yang mencincang musuhnya dengan ciprat darah di sekujur wajah dan tubuh Mel.

Terus, apakah tidak film ini terlalu penuh nada propaganda, propaganda keagungan Sparta (dalam 300 tidak ada letih-letihnya mengumandangkan hal ini, tak ubahnya gaya mengagungkan Soeharto dalam film “Penumpasan G.30.S/PKI”), dan terlalu mencekoki penonton dengan figur negatif Parsia (bernada menyudutkan, dan saya dengar film ini berbuah kecaman di Irak). Bersyukur saya melihat ada propaganda positif yang ditawarkan, patriotisme dan antikolonialisasi (penjajahan/perbudakan).

Meski demikian, untuk tetap bertanggung jawab, saya harus adil, ada penilaian mengenai kekurangan, harus ada pula penilaian soal kelebihan. Ada upaya positif 300 untuk menggali lagi kekayaan sejarah dunia yang disulap sedemikian rupa dengan kemahiran teknologi animasi dan special efect dalam sinematografi. Yup, permainan animasi dalam “300” nyaris tanpa cela teknis, cukup akurat, halus, dan mendekati nyata.

Sebenarnya banyak yang harus diperiksa lagi dalam film ini, meski ini cuma film, hiburan, atau bahkan selingan saat pacaran. Bukan bermaksud berlaga sok pintar, yah, paling tidak saya dan Tiwo mengajak supaya kita menjadi penonton yang kritis dan tidak mudah silau dengan kemasan (efek grafis, kamera, special effects dsb.), sehingga tidak mudah pula untuk memuji dan memaksa orang lain untuk menonton. Jadi jangan terlalu royal dulu dengan pujian. Sebab sepanjang tahun ini masih akan muncul sederet film-film yang perlu dipertimbangkan, mulai dari Spiderman 3, Shrek 3, Mr Bean, dan The Transformers. Iya kan, hun?

Comments

Anonymous said…
Pertama, kesan yang saya tangkap setelah selesai membaca tulisan Anda adalah... bukankah justru tulisan Anda ini yg over dramatic. atau justru membuat film 300 itu over dramatic.
Kedua, Anda mencampur adukkan soal isi cerita dalam film tersebut dengan kemungkinan fakta sejarah yg ada. Yang harus diingatkan justru adalah sudha jelas film ini mengambil sudut pandang tertentu. Artinya dia 'memenangkan' pasukan Sparta dengan segala kehebatannya. hal-hal yang Anda pertanyakan soal pasukan PArsia dll, itu sesungguhnya adalah hal lain. artinya jika anda mengkritik sejarah dlm itu dengan konteks fakta sejarah yg ada, Anda pun harus punya degan bukti-bukti. Misalnya menurut buku atau penelitian, dll. Jangan hanya berdasarkan pada "saya dengar film ini berbuah kecaman di Irak".
Ketiga, kalimat Anda..."Bukan bermaksud berlaga sok pintar, yah, paling tidak saya dan Tiwo mengajak supaya kita menjadi penonton yang kritis dan tidak mudah silau dengan kemasan (efek grafis, kamera, special effects dsb.), sehingga tidak mudah pula untuk memuji dan memaksa orang lain untuk menonton." Pada awal kalimat saya sepakat, kita tak perlu terkena buaian iklan, dsb. tapi pada akhir kalimat saya kira tak ada yg memaksa Anda, dan teman perempuan anda yg asyik membicarakan perut animasi itu, termasuk anda, untuk menonton film 300 ini dna film manapun. artinya semuanya keputusan ada di tangan Anda, saya, dll. yang saya lakukan adalah saya tak akan menonton sebuah film manakala film itu masih dalam tahap promosi digembar-gemborkan media, iklan, dll. saya mencoba mengambil jarak dnegan semua hingar bingar tetek bengek film itu. lalu ketika mereda barulah saya nonton untuk menikmati film itu tanpa pretensi apa pun. semata-mata untuk meihatnya sebagai karya yg menghibur. kalau saya merasa perlu bahkan film itu akan saya tonton berulang kali untuk mencari kelebihan atau kekurangan film itu atau lebih tepatnya memaknai kembali film tersebut. karena saya percaya, film sebagai mana karya seni yang lainnya, ia multitafsir dan apat dimaknai kapan dan apa saja.
keempat, sesungguhnya awal tulisan anda sendiri sudha menjadi semacam jawaban atas 'kritik' anda terhadap film 300, yakni bisa jadi karena anda terlalu asyik masyuk bersama teman perempuan anda, membicarakan perut animasi itu.
kelima, untuk lebih membuat tulisan anda 'berisi', cobalah membaca buku-buku luar, seperti how to critic a movie, how to write about movie, dll. yg sudah bisa di dapat di toko2 buku di ibukota seperti AKSARA, dll. saya yakin sebagai pekerja di media harusnya anda bisa dengan mudah mengakses buku2 seperti itu. minimal membacanya lewa e-book, atau tulisan2 di internet dr web yg bermutu. atau anda baca Bentara di kompas sabtu, tanggal 29 Nov 2008.di situ ada tulisan ttg betapa mudahnya menjadi kritikus film di negeri ini. nah seperti kata-kata Anda, saya juga tak berlaga sok pintar, karena itu saya memberikan apa yang saya tahu soal-soal yng anda bahas tersebut. Sebenarnya amsih banyak yg bsia dibahas dr tulisan Anda, masih ada logika-logika yg bolong dalam tulisan Anda. tapi akan lebih enak untuk mendiskusikanya di dunia nyata barangkali. nice to know u...
Hap said…
This comment has been removed by the author.
Hap said…
sip, thanks om, buat komentar dan rekomendasinya. cheers :)
Anonymous said…
mengagungkan sparta ya menurut anda ? ah, dari strategi perang dan sejarah nyatanya memang sudah pas, karna sebenarnya pasukan persia tidak sebanyak yg di gambarkan (karna saat berlayar sempat terjadi perang di laut dan badai).

jadi, saya rasa artikel ini hanya pandangan subjektif anda, karna justru di grafis terdapat cacat di mana mana, dan di segi perwatakan dan tokoh secara psikologis memang benar dan masuk akal.. di film ini sejarah beberapa di pelencengkan, karna si penghianat sebenarnya akhirnya di bunuh. dan xerxes kan kaisar, bukan raja.. jadi maklum lah kalau metroseksual..

Popular Posts